Kamis, 10 Februari 2011

Waingapu Nun Jauh Di sana … (Sumba Timur)

Pulau Sumba, anda tahu dimana? Sebuah pulau di jajaran kepulauan di Nusa Tenggara Timur, nun jauh disana. Penulis ingat karena dulu waktu di sekolah dasar suka pelajaran ilmu bumi, dan selalu ingin melihat pulau-pulau itu langsung. Baru kali ini kesampaian.Sebelum dikunjungi bangsa Eropa pada tahun 1522, Sumba dikuasai oleh Kerajaan Majapahit Sejak 1866, pulau ini dikuasai oleh Belanda dan selanjutnya menjadi bagian Indonesia.

Lihat Peta Lebih Besar

Pulau Sumba luasnya 10.710 km², dan titik tertingginya Gunung Wanggameti 1.225 m. Sumba berbatasan dengan Pulau Sumbawa di sebelah barat laut, Pulau Flores di timur laut, Pulau Timor di timur, dan Benua Australia di selatan. Sumba memiliki 4 kabupaten : Sumba Barat, Sumba Barat Daya, Sumba Tengah dan Sumba Timur. Kota terbesarnya adalah WaIingapu ibukota Sumba Timur.


Wilayah Sumba Timur memiliki motto : “matawai amahu pada jara hammu” artinya kurang lebih mata air di padang yang bagus untuk peternakan kuda, sedangkan Sumba Barat “pada eweta manda elu”, padang rumput yang hijau.

Kunjungan penulis kali ini sebetulnya adalah untuk melihat stasiun repeater radar di KM 16 Waingapu. Kami harus datang melalui Kupang, karena penerbangan langsung dari Ngurah Rai Bali ke Waingapu hanya beberapa kali dalam seminggu.

Pesawat Boeing B737 Batavia Air yang kami tumpangi mendarat mulus dari runway 15. Selamat datang di Bandara Mau Hau eh sekarang menjadi Umbu Mehang Kunda. Kebetulan Kepala Bandara Udara Bpk. Heronimus Obe Topan, bersama kami satu pesawat.

Setelah istirahat sejenak, kami naik ke menara pengawas ingin melihat bandara ini dari atas Tower. Runway bandara 1850 X 30 M ini, menjadi saran vital yang menghubungkan Sumba dengan wilayah sekelilingnya. Bukit Padadita terlihat memanjang memotong jalur landasan di ujung runway 15. Bukit Padadita ini tingginya 50 m, dan terletak 350 m dari ujung landasan. Jadi, anda dapat membayangkan bahwa pilot harus segera menurunkan ketinggian pesawat, begitu melewati bukit ini. Slope-nya 3% jadi cukup riskan sebetulnya. Pantas tadi waktu mendarat pesawat terasa agak drop, turun dengan tiba-tiba.



STASIUN REPEATER RADAR

Kemudian kami langsung menuju ke stasiun repeater radar, diantar oleh Purwadi teknisi radar yang menjaga dan mengoperasikannya. Stasiun ini berfungsi sangat vital untuk memperkuat data dan menggabungkan (interface) data radar pengaturan lalu lintas udara di wilayah Bali, Makassar dan Nusa Tenggara Timur. Jadi, jika repeater di sini tidak ada, maka ada blank spot di wilayah NTT, dan ini sangat mempengaruhi pelayanan lalu lintas udara di wilayah timur-selatan Indonesia.

Stasiun repeater ini dioperasikan sejak tahun 1997 dan beroperasi dengan baik sampai sekarang. Selama 13 tahun radar head ini terus berputar tanpa berhenti. Antena radar ini hanya sempat berhenti selama 3 hari tahun 1998, pada waktu pemeliharaan. Lokasi antenna radar ini di KM 16 dari Waingapu ke arah Makaminggit, terletak diatas bukit di tepi tikungan jalan. Sekelilingnya bukit-bukit, sebuah antenna BTS Telkomsel di sebelah timurnya.


Penulis naik ke atas antena radar dan di kejauhan tampak teluk Waingapu. Dari atas ketinggian ini, bukit-bukit yang gersang tampak mulai menghijau, beberapa ekor kuda tampak merumput diatasnya. Pantaslah kalau kuda Sandalwood sangat terkenal dikembang-biakkan disini, alamnya memang sangat mendukung. Motto Sumba Timur : matawai amahu pada njara hamu yang artinya : mata air di padang rumput savana untuk kuda yang bagus, menjadi sangat relevan dan nyata.

Purwadi berceritera bahwa lokasi radar ini dihuni oleh mahluk halus, dia meminta kami berdoa sebelum naik keatas radar head. Waktu itu tahun 1998, ada pekerjaan pemeliharaan pengecatan radar head ini. Ketika sedang mengecat, seorang pekerja – Wito, merasa bahwa burungnya (maaf) kesemutan. Dan ketika dibuka, burungnya memang benar-benar hilang! Untunglah setelah 6 jam kemudian burungnya bisa kembali lagi.

Tanpa sadar penulis meraba celana, dan bersyukur untunglah masih ada! Kalau tidak, bisa bahaya nih!. Dia juga berceritera, Pak Suditha dari Bali kalau datang ke sini selalu membawa ayam panggang dan ditaruh di sebuah pojok. Ketika dia kembali lagi untuk sekedar melihatnya; ayam panggang itu sudah lenyap. Anehnya, kalau yang membawa ayam Purwadi sendiri, nggak pernah hilang. Tetap utuh. Nah lu. Beda rasanya barangkali ya?
Terimakasih dan penghargaan yang tinggi kepada Purwadi Teknisi Elektronika RTR 32, lulusan Curug tahun 1994. Di tempat terpencil ini, dia bersama beberapa teknisi menjaga dan memelihara peralatan ini dengan baik dan tetap beroperasi setiap hari non-stop, selama 13 tahun! Tanpa mereka sudah pasti pelayanan navigasi penerbangan di Bali dan wilayah Timur Indonesia, kurang optimal.Penulis mengusulkan agar lokasi ini diberi nama saja. Jangan hanya KM 16, tetapi diberi nama sesuai lokasinya. Awalnya, karena disini sulit air penulis sarankan namanya Wai Harui (air sulit). Purwadi kemudian mencoba mencari nasehat dari para tetua adat. Dan karena lokasinya di sebuah ketinggian dengan pandangan yang luas, maka namanya diusulkan : Ngadu Mbulu (pandangan luas). Penulis meyakinkan Purwadi agar segera mengubah nama KM 16 menjadi Ngadu Mbulu. Mudah-mudahan Purwadi segera meresmikan nama ini.

Sore hari kami meninggalkan lokasi ini. Dan menginap di hotel Evlin.


Besok paginya jam 8 pagi Umbu Putra sudah menjemput kami di hotel. Kami akan meneruskan perjalanan ke Tambolaka Sumba Barat Daya. Di sebuah pertigaan di kilometer nol Waingapu, kami berhenti sebentar. Ambil beberapa foto di pertigaan ini.

Dan di dekat peritgaan ini ada ibu-ibu menjual nasi kuning, semacam Nasi Jenggo di Bali. Iseng iseng penulis membeli 3 bungkus, sekedar ingin membandingkan rasanya dengan Nasi Jenggo Bali. Iseng yang ternyata menjadi sangat bermanfaat.


DESA ADAT PRAELIU
Umbu Putra mengantarkan kami ke desa adat Prealiu. Untuk melihat adat istiadat dan kehidupan suku Sumba. Desa Praeliu, kami meminta ijin untuk masuk ke rumah adat. Seorang kepala keluarga menemui kami dan menjelaskan tentang rumah adatnya. Bersyukurlah kami datang bersama dengan Umbu Putra, rekan kami yang berasalah dari Waikabubak. Dia punya teman dan kerabat di desa ini, sehingga kami dengan mudah masuk ke rumah mereka dan mendapat perlakuan yang bersahabat.


Umbu Putra


Masyarakat Sumba kuno menjalankan kehidupannya dengan sebuah keyakinan yang dikenal sebagai Marapu. Mereka menguburkan jasad nenek moyangnya yang sangat dihormati dengan membuat batu kubur di depan rumah mereka. Batu kubur ini sering kali lebih bagus dan terawat dibandingkan dengan rumah mereka sendiri. Ini salah satu bentuk penghormatan kepada nenek moyangnya. Selain itu, batu kubur barangkali menjadi lambang status. Semakin bagus batu kubur seseorang, menunjukkan gengsi dan status seseorang di masyarakatnya.

Rumah adat Sumba diberi nama “uma” Dan setiap uma memiliki nama berdasarkan status sosial penghuninya. Untuk rumah orang kebanyakan dinamakan “uma marapu manu” untuk pemimpin pemukiman “uma rato”, ketua adata “umadelo” dan bangunan untu bermusyawarah “uma wawine”

Uma merupakan bangunan yang memiliki atap tinggi dibagian atas, dan bagian bawahnya dibuat landai. Mirip-mirip dengan rumah joglo di Jawa. Atap yang menjulur jauh ke bawah membuat dinding Uma hampir tidak kelihatan. Bubungan atap digunakan untuk menyimpan bibit tanaman dan bahan makanan dinamakan “uma dalo”, dibawahnya tempat menyimpan makanan sehari-hari “pedalolo”. Di bawahnya lagi adalah ruang tidur “katendeng”.

Bagian terbawah dari uma adalah “katonga tana” yang berfungsi sebagai balai tempat pijakan kaki sebelum memasuki rumah. Bagian bawah bangunan berbentuk panggung dengan teras yang tidak berpagar. Dindingnya berupa jajaran kayu yang bertumpuk-tumpuk diletakkan horizontal.

Jadi rumah adat Sumba terbagi menjadi 3 bagian : Toko Uma (bagian atap) berbentuk menara yang tinggi untuk menyimpan benda-benada pusaka Marapu dan menyiman hasil panen. Bei Uma (ruang hunian) ruangan ini tidak menyentuh tanah, berlantai bambu dengan beranda yang cukup luas. Kali Kabunga (kolong rumah) digunakan sebagai kandang ternak

Sebentar kemudian kami sudah selesai, dan keluar rumah adat ini. Dan beberapa ibu-ibu segera datang dan menggelar kain-kain khas Sumba yang mereka tenun sendiri menawarkan untuk dibeli. Motifnya sangat khas Sumba dengan warna-warna yang terang dan menarik. kami pun membeli beberapa lembar sekedar untuk kenang-kenangan. Mereka walaupun terkesan diam dan dingin, tetapi cukup ramah dan tidak memaksa. Tidak seperti kebanyakn di lokasi wisata. Jika kita tidak membeli kain yang mereka tawarkan pun tidak apa-apa.

Hanya saja cukup sungkan juga ketika ada yang seorang bapak yang menawarkan kain berukuran besar, sampai menggantungkannya harus pakai galah. Harganya ? Rp. 3 juta. Mahal? Barangkali kalau memperhatikan prosesnya, yang memakan waktu berbulan-bulan, enggak juga.



MENUJU TAMBOLAKA

Kami meneruskan perjalanan. Endo Prabowo dan Purwadi menjemput kami, karena Umbu Putra ada urusan sedikit, dia akan menyusul kemudian. Jam 9 pagi pagi yang cerah, mobil diesel Everest membawa kami ber 5 dengan sopir, meninggalkan Waingapu menuju Tambolaka.

Kita tahu, Tambolaka menjadi terkenal, karena peristiwa mendaratnya pesawat Adam Air yang salah navigasi. Kejadian ini menghebohkan dunia penerbangan internasional. Kesalahan pilot dan ATC yang kurang cermat memantau rute penerbangan Adam Air, membuat kejadian ini menjadi stigma bagi dunia penerbangan Indonesia. Tambolaka berada di Sumba Barata Daya, kira-kira 175 km dari sini.


Menjelang ke luar Waingapu kami melewati sebuah jalan yang diberi nama Jenderal Soeharto. Hebat juga. Barangkali Waingapu adalah satu satunya daerah yang berani memberi nama jalan dengan nama ini. Kita tahu, Bapak Pembangunan ini pada akhir kekuasaannya banyak di cerca dan dikucilkan. Waingapu ternyata menghargai beliau dan cukup berani memberi nama jalan protokolnya dengan nama : Jenderal Soeharto. Gedung DPRD Waingapu yang megah dan terletak di pebukitan terletak di jalan ini.

Mobil Everest kami bergerak dan meninggalkan Waingapu. Pintu gerbang kota Waingapu dijaga dengan megah oleh dua buah patung penunggang kuda mengawal gerbang ini di kanan-kiri jalan dua jalur yang beraspal mulus. Dibawahnya beberapa pasang muda-mudi asyik memadu kasih. Jalan-jalan di Waingapu mulus karena dibuat di atas karang yang keras, karena base nya kuat dan keras jarang terjadi kerusakan.


Di sebuah belokan, ditepi sebuah tebing yang curam pemandangannya begitu menarik sehingga membuat kami berhenti dan mengambil beberapa buah foto. Dari atas ketinggian ini, di ujung pandangan, garis pantai melengkung membentuk teluk, dan disitulah bandara Waingapu terletak. Namanya sekarang Bandara Umbu Mehang Kunda, sayangnya nama ini belum masuk dalam catatan organisasi penerbangan sipil internasional ICAO.

Di kilometer 13 ketika mobil kami berada di bukit karang yang di belah untuk membuat jalan. Tiba-tiba indikator panas mobil naik, dan sopir kami menghentikan mobil dan parkir dipinggir jalan. Wah bagaimana ini ?

Tenang saja, berhenti sebentar. Saatnya sarapan lagi. Dan kami pun membuka nasi bungkus yang kami beli tadi. Sambil menunggu mesin dingin kami duduk di pinggir jalan, di bawah sinar matahari pagi, kami menikmati nasi kuning khas Waingapu. Asyik. Dan Purwadi pun sibuk motret kami yang sedang makan.

Setelah selesai, ajaib mesin sudah dingin padahal tidak diapa-apakan. Kemudian ketika mobil kembali di start semuanya berjalan dengan normal. Mobil pun berjalan lancar diatas jalan beraspal hotmix yang mulus. Kami membelok melewati KM 16 - Ngadu Mbulu - stasiun repeater radar yang kemarin sore kami lihat.

Di kejauhan beberapa kuda tampak merumput di bukit-bukit yang mulai menghijau. Kuda Sandalwood yang terkenal itu. Kuda-kuda yang dibiarkan liar. Penulis bertanya bagaimana caranya mengembalikan kuda-kuda itu ke dalam kandangnya? Barangkali itulah mengapa keahlian menunggang kuda, menjadi sebuah pertunjukkan menarik dalam tradisi Pasola. Adu ketangkasan kuda dengan melempar lembing.

Bukit bukit hijau kekuningan yang hanya ditumbuhi rumput itu seakan menjelaskan makna dari “matawai amahu pada jara hammu” - mata air di padang yang baik untuk kuda …

Selamat tinggal Waingapu …

Sumber :
Heru Legowo
http://wisata.kompasiana.com/jalan-jalan/2010/10/23/waingapu-nun-jauh-disana/ 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar